MAKALAH PKN
“Perkembangan Pers Pada Masa Revolusi Fisik”
Kelompok 3
Kelas : XII
IPA 1
Nama
Kelompok 3 :
1.
Andromeda S.K
2.
Linda B.
3.
Roland C.
Kata Pengantar
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah tentang “Perkembangan Pers Pada Masa Revolusi Fisik” ini. Semoga
makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca dalam pendidikan.
Meskipun
kami berharap isi dari makalah
kami ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar tugas makalah ini dapat lebih baik
lagi.
Akhir
kata kami mengucapkan terimakasih, semoga hasil makalah kami ini bermanfaat.
Palopo,
30
November 2016
Penyusun
i
Daftar
Isi
Kata Pengantar····················································································· i
Daftar Isi······························································································ ii
BAB I - PENDAHULUAN
A. Latar Belakang·················································································· 1-2
B. Rumusan Masalah·············································································· 2
C. Pembahasan Masalah·········································································· 2
BAB II – PEMBAHASAN
A. Kondisi Indonesia pada
Masa Revolusi··················································· 3-4
B. Perkembangan Pers pada Masa Revolusi Indonesia····································· 4-8
C.Proses Terbentuknya PWI
(Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS (Serikat Perusahaan Suratkabar) 8-10
D. Peranan Pers pada Masa
Revolusi Indonesia············································· 10-17
E. Proses Terjadinya
Penyalahgunaan Pers pada Masa Revolusi Indonesia··········· 17-18
BAB III – KESIMPULAN····································································· 19-20
ii
“Perkembangan Pers Pada Masa
Revolusi Fisik”
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Zaman Revolusi Fisik (1945-1949) merupakan
suatu zaman yang paling cemerlang dalam sejarah Indonesia, hak-hak Indonesia
akan kemerdekaan ditunjukkan oleh pengorbanan-pengorbanan yang luar biasa oleh
bangsa Indonesia. Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan
hanya merupakan suatu kisah sentral dalam sejarah Indonesia melainkan merupakan
suatu unsur yang kuat di dalam persepsi bangsa Indonesia itu sendiri. Semua usaha yang tidak menentu untuk mencari
identitas-identitas baru, untuk persatuan dalam menghadapi kekuasaan asing, dan
untuk suatu tatanan sosial yang lebih adil akhirnya membuahkan hasil pada
masa-masa sesudah perang dunia II. Untuk pertama kalinya di dalam kehidupan
kebanyakan rakyat Indonesia segala sesuatu yang serba paksaan yang berasal dari
kekuasaan asing hilang secara tiba-tiba. Tradisi nasional yang mengatakan bahwa
rakyat Indonesia berjuang bahu-membahu selama revolusi hanya merupakan sedikit
dasar sejarah.
Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II
(1939-1945) membawa pengaruh bagi perkembangan sosial-politik di Indonesia.
Tentara pendudukannya yang otoriter dan represif tidak lagi berdaya di
Indonesia. Pada pertengahan bulan Agustus 1945 keadaan yang terjadi sedemikian
rupa sehingga mengarah ke dislokasi sosial. Kekuatan-kekuatan bersifat
revolusioner dari masyarakat – yang selama ini dibungkam oleh rezim militer –
mencuat ke permukaan dan mengalir laksana air bah yang dahsyat. Arus revolusi,
dengan demikian, telah dimulai dan sepertinya sulit untuk dikendalikan. Dalam
suasana yang seperti itulah pers republik bermunculan. Kehadirannya dimaksudkan
selain untuk memberikan penerangan dan koordinasi bagi hasrat besar masyarakat
yang ingin bebas-merdeka, juga untuk memahami visi dari para pemimpin bangsa
tentang bentuk kemerdekaan yang dicita-citakan.
Pada masa ini pemerintahan Indonesia
mengalami goncangan setelah datangnya kembali Belanda yang berkeinginan untuk
menjajah kembali Indonesia. Dalam hal ini, tentunya masyarakat Indonesia
tentunya tidak ingin dijajah kembali oleh bangsa mana pun.
1
Berangkat dari hal itu, pers-pers
Indonesia berusaha untuk menjaga semangat kemerdekaan Indonesia supaya
persatuan Indonesia tidak merasa takut dengan datangnya Belanda yang ingin
menjajah lagi.
Dalam makalah ini, kami berusaha
menguraikan mengenai kondisi pemerintahan Indonesia pada masa revolusi, pers
yang ada pada masa revolusi, proses terbentuknya PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia) dan SPS (Serikat Perusahaan Suratkabar), serta peranan pers pada
masa revolusi. Selain itu, makalah ini akan menjelaskan mengenai penyalahgunaan
pers pada masa revolusi Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Kondisi Indonesia pada Masa Revolusi?
2.
Bagaimana
PerkembanganPerspada Masa Revolusi Indonesia?
3.
Bagaimana
Proses Terbentuknya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS (Serikat
Perusahaan Suratkabar)?
4.
Bagaimana
Peranan Pers pada Masa Revolusi Indonesia?
5.
Bagaimana
Proses Terjadinya Penyalahgunaan Pers pada Masa Revolusi Indonesia?
C.
Pembahasan
Masalah
1.
Untuk
mengetahui Kondisi Indonesia pada Masa Revolusi.
2.
Untuk
mengetahuiPerkembangan Pers pada Masa Revolusi Indonesia.
3.
Untuk
mengetahui Proses Terbentuknya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS (Serikat
Perusahaan Suratkabar).
4.
Untuk
mengetahui Peranan Pers pada Masa Revolusi Indonesia.
5.
Untuk
mengetahui Proses Terjadinya Penyalahgunaan Pers pada Masa Revolusi Indonesia.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kondisi
Indonesia pada Masa Revolusi
Menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada
tanggal 14 Agustus 1945, mengakhiri Perang Pasifik dan menamatkan riwayat
kekuasaan tentara Jepang di Indonesia yang telah berlangsung lebih kurang tiga
setengah tahun lamanya. Pada tanggal 17 Agustus 1945 berkumandanglah ke seluruh
dunia, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Dengan mulai tibanya pihak sekutu guna
menerima penyerahan jepang maka muncullah tantangan serius yang pertama
terhadap revolusi. Pada awal tahun 1945, pihak sekutu telah memutuskan bahwa
pasukan-pasukan Amerika akan memusatkan perhatian pada pulau-pulau di Jepang. Dengan
demikian tanggung jawab atas Indonesia akan dipindahkan dari Komando Pasifik
barat daya Amerika kepada Komando Asia Tenggara Inggris dibawah pimpinan Lord
Louis Mountbatten. Tentu saja belanda ingin sekali menduduki kembali Indonesia
dan menghukum mereka yang bekerja sama dengan Jepang.
Pemerintah Pusat Republik Indonesia
segera dibentuk di Jakarta pada akhir agustus 1945. Pemerintah menyetujui
konstitusi yang telah di rancang oleh panitia kemerdekaan Indonesia sebelum
menyerahnya Jepang. Akan tetapi, pihak angkatan laut Jepang memperingatkan
bahwa orang-orang Indonesia yang beragama Kristen di wilayahnya tidak akan
menyetujui peranan istimewa Islam, sehingga Piagam Jakarta dan syarat bahwa
kepala negara haruslah seorang muslim tidak jadi dicantumkan. Soekarno diangkat
sebagai presiden dan hatta sebagai wakil presiden, karena politikus yakin bahwa
hanya merekalah yang dapat berurusan dengan pihak Jepang.
Tidak adanya ketentraman pada
hari-hari sesudah diproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945 di Jakarta oleh kedatangan tentara pendudukan sekutu yang diwakili tentara
Inggris, yang di dalamnya ikut pula tentara Belanda untuk maksud dapat
menduduki kembali Indonesia secara berangsur-angsur, maka kantor-kantor
Pemerintahan Republik Indonesia yang baru mulai bekerja, berpindah ke Yogyakarta.
Untuk sementara waktu
Yogyakarta menjadi Ibukota Republik Indonesia yang berlangsung sampai akhir
tahun 1949 dengan diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh dunia internasional.
Perubahan yang fundamental di dalam
masyarakat Indonesiasangat terasa sekali pada saat setelah proklamasi
kemerdekaan17 Agustus 1945. Revolusi Indonesia yang mencakup
3
periode1945-1950 adalah revolusi yang
anti kolonial. Segala sesuatuyang berhubungan dengan kolonialisme dipandang
sebagaipenghambat jalannya revolusi. Perubahan yang fundamentaltersebut
disertai timbulnya pergolakan-pergolakan sosial, yangdalam beberapa kasus di
daerah-daerah di Indonesia merupakansuatu revolusi sosial. Perubahan yang fundamental
ini tampakpada perubahan struktur sosial dan politik, dan struktur kolonial dan
feodal ke struktur masyarakat yang bercorak republik.
Pergolakan-pergolakan sosial ini sering
merupakan suatuproses waktu yang singkat dengan gerakan radikal yang intensif,misalnya
keganasan, penculikan, pembunuhan dan lain sebagainya. Kadangkala pergolakan
sosial itu berjalan dalam proseswaktu yang lama. Dalam konteks Revolusi
Indonesia ini, pergolakan-pergolakan sosial ini timbul karena terjadinya
transformasisosial dan pohtik yang secara mendadak, dan erat dengan nilai-nilaiRevolusi
Indonesia, seperti anti kolonialisme, anti feodalisme,patriotisme, nasionalisme,
radikalisme,
idealisme,
dan heroisme.Revolusi
Indonesia adalah revolusi nasional yang menghasilkankemerdekaan dan pembentukan
bangsa. Oleh sebabitu anti kolonialisme menjadi suatu kehidunan politik yangmenyeluruh
bagi bangsa Indonesia.
B.
Perkembangan
Pers pada Masa Revolusi Indonesia
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia diumumkan oleh Sukarno-Hatta dari rumah Pegangsaan Timur
56, Jakarta. Sejak tiga hari sebelumnya, pihak Sekutu (pasukan Inggris,
Amerika, Australia dan Belanda) telah menyiapkan diri untuk memasuki wilayah
Indonesia dengan tujuan melucuti militer Jepang dan langsung memulihkan kekuasaan pemerintahan kolonial
Belanda. Guna melincinkan jalan bagi kembalinya pemerintah jajahan, Sekutu
lebih dulu memerintahkan pasukan Jepang untuk mempertahankan status quo, atau
dengan kata lain menolak proklamasi kemerdekaan Indonesia dan berdirinya
Republik Indonesia. Akibat keputusan Sekutu tersebut, terjadi bentrokan fisik
besar dan kecil antara Jepang dan rakyat Indonesia di berbagai tempat.
Dengan latar belakang ini, tugas
wartawan nasional tidak bisa lain adalah ikut berjuang mempertahankan
Proklamasi. Menyusul deklarasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,
wartawan-wartawan pergerakan yang tetap berkerja di pers semasa pendudukan
militer Jepang segera melancarkan kegiatan pemberitaan dan penerangan mendukung
Proklamasi. Mereka mengambil alih surat kabar-surat kabar dan
percetakan-percetakan yang dikuasai Jepang.
Periode Revolusi Fisik terjadi antara
tahun 1945 sampai 1949. Masa itu adalah masa
4
bangsa Indonesia berjuang mempertahankan
kemerdekaan yang berhasil diraihnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin
kembali menduduki Indonesia sehingga terjadilah perang mempertahankan
kemerdekaan. Pada saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
1.
Pers
yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda yang
selanjutnya dinamakan Pers Nica (Belanda).
2.
Pers
yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia yang disebut Pers
Republik.
Kedua golongan ini sangat berlawanan. pers
Republik disuarakan oleh kaum Republik yang berisi semangat mempertahankan
kemerdekaan dan menetang usaha penduduk Sekutu. Pers benar-benar menjadi alat
perjuangan masa itu. Sebaliknya, Pers Nica berusaha mempengaruhi rakyat
Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk berkuasa di Indonesia.
1.
Pers
Republik
Kira-kira sebulan setengah setelah
proklamasi kemerdekaan (17 Agustus 1945), surat-suratkabar resmi yang semula
milik Jepang diambil-alih dan diubah menjadi surat kabar milik Republik.
Pengambilalihan biasanya dilakukan oleh para pemuda-pelajar yang punya
pengalaman di bidang jurnalistik. Begitulah, misalnya, suratkabar Asia Raya di Jakarta, Tjahaja di Bandung, Sinar Baroe diSemarang, Sinar
Matahari di Yogyakarta, dan Soeara
Asia di Surabaya, berubah menjadi suratkabar Merdeka (1 Oktober 1945 – sekarang), Soeara Merdeka (September 1945 – Juli 1947), Warta Indonesia (September 1945 – Nopember 1945), Kedaulatan Rakjat (27 September 1945 –
sekarang), dan Soeara Rakjat (Oktober
1945 – Juli 1947).
Suratkabar di kota-kota lain juga
bermunculan laksana cendawan di musim hujan. Hal itu sejalan dengan anjuran
pemerintah, selain keinginan dari masyarakat sendiri, untuk mendirikan
suratkabar sebanyak mungkin sebagai manifestasi dari revolusi Indonesia yang
demokratis. Maka di Jakarta, selain suratkabar Merdeka, terbit pula Berita Indonesia, Ra’jat, dan Negara Baroe;
di Bogor ada Gelora Rakjat; di
Cirebon ada Republik dan Genderang; di Magelang ada Penghela Rakjat; di Yogyakarta, selain Kedaulatan Rakjat, ada Al-Djihad, Boeroeh, dan Nasional; di
Surakarta ada Lasjkar, Soeara Moeda, Menara Islam, dan Perintis;
di Madiun ada Api Rakjat; di
Mojokerto ada Bhakti; di Malang ada Berdjoeang, dan sebagainya.
5
Di Aceh, Ali Hasjmy, Abdullah Arif dan
Amelz menerbitkan Semangat Merdeka
(18 Oktober 1945). Di Medan, Pewarta Deli
terbit kembali, kali ini dipimpin Mohammad Said dan Amarullah Ombak Lubis. Ini
terjadi pada bulan September 1945. Kemudian Mimbar
Oemoem dengan redaktur Abdul Wahab Siregar, Mohammad Saleh Umar dan M.
Yunan Nasution (bulan November). Di Medan juga terbit Sinar Deli, Buruh dan Islam Berdjuang. Di Padang terbit Pedoman Kita di bawah Jusuf Djawab dan
Decha, serta Kedualatan Rakjat
pimpinan Adinegoro dengan dibantu Anwar Luthan, T. Sjahril, Zuwir Djamal, Zubir
Salam, Sjamsuddin Lubis, Darwis Abbas, Maisir Thaib, dan lain-lain. Di
Palembang terbit Soematra Baroe
dipimpin Nungcik Ar.
Di Ujung Pandang, waktu itu masih
bernama Makassar, terbit harian Soeara
Indonesia di bawah Manai Sophiaan. Di Manado terbit Menara (Desember 1945) atas prakarsa G.E. Dauhan. Di Ternate,
Arnold Mononutu (menteri penerangan 1949, 1951, 1952), menerbitkan mingguan Menara Merdeka (Oktober 1945), dibantu
Hassan Missouri. Di samping surat kabar-surat kabar swasta, pihak pemerintah RI
menerbitkan koran sendiri, seperti Soeloeh Merdeka di Medan (Oktober 1945)
yang diasuh Jahja Jakub dan Arif Lubis, serta Negara Baroe di Jakarta yang dipimpin Parada Harahap.
2.
Inggris
Mengekang Pers Republik
Sejak pasukan pendudukan Inggris
mendarat di Indonesia dengan membawa satuan-satuan tentara Belanda, pers
nasional dan para wartawannya terus menghadapi berbagai macam tindakan
kekerasan pihak musuh berhubung karena tulisan-tulisan dan berita-berita mereka
selalu mendukung kepentingan RI. Di Medan, harian Sinar Deli dipaksa Inggris untuk berhenti terbit. Juga di Medan, Pewarta Deli dipaksa berhenti pada bulan Maret 1946, sementara A.O. Lubis
dan pemimpin percetakan Syarikat Tapanuli,
Rachmat, ditahan selama tiga minggu.
Begitu pula, Wahab Siregar dari Mimbar
Oemoem ditahan, dan percetakan Soeloeh
Merdeka diduduki oleh pasukan Inggris. Di Padang, percetakan yang
menerbitkan Oetoesan Soematra
diledakkan oleh serdadu Inggris. Di Jakarta, kantor Berita Indonesia diserbu serdadu Belanda sehingga terpaksa pindah
percetakan. B.M. Diah dan Herawati Diah dari harian Merdeka sempat pula meringkuk dalam tahanan Inggris. Di Makassar,
Manai Sophiaan selalu menjadi incaran serdadu Belanda dan terpaksa mengungsi ke
Jawa. Di Bandung, kantor Tjahaja
dirusak tentara Jepang dan sejumlah wartawannya disekap. Di antara
wartawan-wartawan Republikyang pernah ditangkap Belanda adalah Sajuti Melik,
Wonohito, P. Wardojo, Sudarso Warsokusumo, Anwar
6
Tjokroaminoto, Siauw Giok Tjan, Tabrani dan Adam
Malik.
Akibat pendudukan pasukan Sekutu dan
aksi teror serdadu Belanda di Jakarta, pemerintah Republik memutuskan pindah ke
Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Sejak itu, perjuangan pers nasional terbagi
antara mereka yang beroperasi di wilayah kekuasaan efektif Republik dan mereka
yang terus bertahan di daerah pendudukan Sekutu/Belanda yang rawan. Pers
Republik yang melaksanakan misi perjuangan di kota-kota yang diduduki musuh,
selain yang sudah disebut di atas dan masih terbit, adalah sebagai berikut:
Di Jakarta tercatat Sumber, Pemandangan dan Pedoman. Di Medan, Waspada (terbit mulai
Januari 1947). Di Padang, Tjahaja Padang.
Di Bukit Tinggi, Detik. Di Palembang,
Obor Rakjat (eks Soematra Baroe) yang terbit 1 Juli 1946. Fikiran Rakjat, Soeara Rakjat
(eks Obor Rakjat). Di Bandung dan
beberapa kota lainnya di Jawa Barat, Gelora
Rakjat, Neratja, Perdjoangan, Sinar Priangan, Perdjoangan
Rakjat, Toedjoean Rakjat dan Patjoel. Di Semarang, Warta
Indonesia. Di Makassar, Pedoman, Proletar dan beberapa mingguan serta
berkala. Di Minahasa, Soeara Pemoeda.
Beberapa koran Republik, seperti Merah
Poetih pimpinan Abdul Azis, melakukan gerilya setelah mengungsi dari
Surabaya dan pindah ke Modjokerto. Merah
Poetih kemudian terpecah tiga: satu terbit di Modjokerto, satu di Kediri
dan satu lagi di Malang. Di Malang selatan terbit Siaran Daerah atas upaya Sunarjo Prawiroadinoto. Di Sumatera tengah
terbit Menara Rakjat di bawah
pimpinan Sutan Usman Karim (Suska). Di sekitar Yogyakarta, Sumantoro dan
adiknya Sugijono dan Muljono menerbitkan Gerilja
Rakjat dan Berita Gerilja.Di
Maluku sendiri kemudian terbit Soeara
Rakjat Maloekoe dan Siwa Lima.
3.
Pers
Belanda
Perkembangan pers Republik yang secara
teguh menyokong kemerdekaan Indonesia telah memaksa Belanda untuk menerbitkan
pula medianya sendiri sebagai tandingan. Kantor berita Aneta, yang sudah ada sejak masa kolonial, diterbitkan kembali. Di
masa lalu, Aneta terkenal dengan pola pemberitaan yang merugikan perjuangan
kemerdekaan. Karena pengalaman ini, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP),
dewan perwakilan republik waktu itu,
pernah mengeluarkan keputusan hanya mengakui Antara sebagai satu-satunya kantor berita nasional Indonesia.
Salah satu basis penerbitan pers Belanda
adalah Makassar. Dari kota ini surat kabar-surat kabar pendukung Belanda
diedarkan ke daerah Indonesia Timur. Ada pun koran-koran pro Belanda yang
pernah terbit di Makassar waktu itu adalah Oost
Indonesie Bode
7
(kemudian berganti nama menjadi Makassarse Courant), Negara Baroe (kemudian bernama Indonesia Timoer) dan Noesantara. Koran-koran Belanda lainnya
adalah Het Midden (Semarang), De Courant (Bandung), De Lokomotief (Semarang), Het Dagblad voor Soematra (Medan), Java Bode, Het Nieuws van de Dag dan De
Nieuwsgiers (Jakarta). Sebagian surat kabar-surat kabar Belanda tersebut dapat
tetap terbit sampai dilarang oleh pemerintah Indonesia menjelang kampanye
menentang penjajahan Belanda atas Irian Jaya (waktu itu disebut Irian Barat)
pada tahun 1958.
Terbitnya surat kabar-surat kabar
Belanda tersebut, bahkan tindakan-tindakan pengekangan militer Inggris dan
Belanda sekali pun, tidak berhasil membendung pers nasional untuk terus
menyiarkan berita tulisan perlawanan terhadap kolonialisme dan menentang siasat
Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Pers Republik mendukung upaya diplomasi
internasional atas dasar kemerdekaan penuh, baik menghadapi Persetujuan Linggarjati
(15 November 1946) maupun Persetujuan Renville (17 Januari 1948), apa lagi
terbukti pihak Belanda sendiri telah menginjak-injak persetujuan tersebut
dengan melancarkan Agresi Militer pertamanya pada bulan Juli 1947 dan Agresi Militer
kedua pada bulan Desember 1948.
Selain itu, selama perundingan
Indonesia-Belanda berlangsung di Den Haag, pers Republik secara tegas menolak
pembentukan negara-negara kecil yang didukung Belanda, seperti Negara Indonesia
Timur (1946), Negara Sumatera Timur (1947), Negara Madura (1948), Negara
Pasundan (1948), Negara Sumatera Selatan (1948), Negara Djawa Timur (1948) dan
lain-lain. Dan tatkala Partai Komunis Indonesia memberontak terhadap
pemerintahan republik, pers nasional mengutuk pengkhianatan tersebut.
Pengalaman dan pengorbanan para pejuang pers sejak Proklamasi, mulai dari
perlawanan terhadap pendudukan tentara Sekutu hingga berakhirnya Konferensi
Meja Bundar di Den Haag pada 2 September 1949, yang menghasilkan pengakuan
Belanda atas kemerdekaan dan kedaulatan RI, telah meneguhkan perjuangan mereka
menentang pelanggaran terhadap prinsip-prinsip nasional yang melandasi
berdirinya Republik Indonesia.
C.
Proses
Terbentuknya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS (Serikat Perusahaan
Suratkabar)
Dalam sejarah mencapai Indonesia
merdeka, wartawan Indonesia tercatat sebagai patriot bangsa bersama para perintis pergerakan di berbagai
pelosok tanah air yang berjuang untuk menghapus penjajahan. Di masa pergerakan,
wartawan bahkan
8
menyandang dua peran sekaligus, sebagai aktivis pers yang melaksanakan
tugas-tugas pemberitaan dan penerangan guna membangkitkan kesadaran nasional
dan sebagai aktivis politik yang melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan
membangun perlawanan rakyat terhadap penjajahan, Kedua peran tersebut mempunyai
tujuan tunggal, yaitu mewujudkan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wartawan
Indonesia masih melakukan peran ganda sebagai aktivis pers dan aktivis politik.
Dalam Indonesia merdeka, kedudukan dan peranan wartawan khususnya, pers pada
umumnya, mempunyai arti strategik sendiri dalam upaya berlanjut untuk
mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Aspirasi perjuangan wartawan dan pers
Indonesia memperoleh wadah dan wahana yang berlingkup nasional pada tanggal 9
Februari 1946 dengan terbentuknya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Kelahiran PWI di tengah kancah
perjuangan mempertahankan Republik Indonesia dari ancaman kembalinya
penjajahan, melambangkan kebersamaan dan kesatuan wartawan Indonesia dalam
tekad dan semangat patriotiknya untuk membela kedaulatan, kehormatan serta
integritas bangsa dan negara. Bahkan dengan kelahiran PWI, wartawan Indonesia
menjadi semakin teguh dalam menampilkan dirinya sebagai ujung tombak perjuangan
nasional menentang kembalinya kolonialisme dan dalam menggagalkan negara-negara
noneka yang hendak meruntuhkan Republik Indonesia.
Sejarah lahirnya surat kabar dan pers itu berkaitan dan tidak dapat
dipisahkan dari sejarah lahirnya idealisme perjuangan bangsa mencapai
kemerdekaan. Di zaman revolusi fisik, lebih terasa lagi betapa pentingnya
peranan dan eksistensi pers sebagai alat perjuangan, sehingga kemudian
berkumpullah di Yogyakarta pada tanggal 8 Juni 1946 tokoh-tokoh surat kabar,
tokoh-tokoh pers nasional, untuk
mengikrarkan berdirinya Serikat Penerbit
Suratkabar (SPS). Kepentingan untuk mendirikan SPS pada waktu itu bertolak
dari pemikiran bahwa barisan penerbit pers nasional perlu segera ditata dan
dikelola, dalam segi idiil dan komersialnya, mengingat saat itu pers penjajah
dan pers asing masih hidup dan tetap berusaha mempertahankan pengaruhnya.
Sebenarnya SPS telah lahir jauh
sebelum tanggal 6 Juni 1946, yaitu tepatnya empat bulan sebelumnya bersamaan
dengan lahirnya PWI di Surakarta pada tanggal 9 Februari 1946. Karena peristiwa itulah orang
mengibaratkan kelahiran PWI dan SPS sebagai “kembar siam”. Di balai pertemuan
“Sono Suko” di Surakarta pada tanggal 9-10 Februari
9
itu wartawan dari seluruh Indonesia berkumpul
dan bertemu. Yang datang beragam wartawan, yaitu tokoh-tokoh pers yang sedang
memimpin surat kabar, majalah, wartawan pejuang dan pejuang wartawan. Pertemuan
besar yang pertama itu memutuskan:
1.
Disetujui
membentuk organisasi wartawan Indonesdengan nama Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI), diketuai Mr. Sumanang Surjowinoto dengan sekretarisSudarjo
Tjokrosisworo.
2.
Disetujui
membentuk sebuah komisi beranggotakan:
a.
Sjamsuddin
Sutan Makmur (harian Rakjat,
Jakarta),
b.
B.M.
Diah (Merdeka, Jakarta),
c.
Abdul
Rachmat Nasution (kantor berita Antara,
Jakarta),
d.
Ronggodanukusumo
(Suara Rakjat, Modjokerto),
e.
Mohammad
Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya),
f.
Bambang
Suprapto (Penghela Rakjat, Magelang),
g.
Sudjono
(Berdjuang, Malang), dan
h.
Suprijo
Djojosupadmo (Kedaulatan Rakjat, Yogyakarta).
Ke-8 orang tersebut dibantu oleh Mr.
Sumanang dan Sudarjo Tjokrosisworo.
Tugas mereka adalah merumuskan hal-ihwal persuratkabaran nasional waktu itu dan
usaha mengkoordinasinya ke dalam satu barisan pers nasional di mana ratusan
jumlah penerbitan harian dan majalah semuanya terbit dengan hanya satu tujuan,
yaitu “Menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Belanda, mengobarkan nyala revolusi,
dengan mengobori semangat perlawanan seluruh rakyat terhadap bahaya penjajahan,
menempa persatuan nasional, untuk keabadian kemerdekaan bangsa dan penegakan
kedaulatan rakyat.”
Komisi 10 orang tersebut dinamakan juga
“Panitia Usaha” yang dibentuk oleh Kongres PWI di Surakarta tanggal 9-10
Februari 1946. Kurang tiga minggu kemudian komisi bertemu lagi di kota itu
bertepatan para anggota bertugas menghadiri sidang Komite Nasional Indonesia
Pusat yang berlangsung dari 28 Februari hingga Maret 1946. Komisi bersidang dan
membahas masalah pers yang dihadapi, kemudian pada prinsipnya sepakat perlunya
segera membentuk sebuah wadah untuk mengkoordinasikan persatuan pengusaha surat
kabar, waktu itu disebut Serikat
Perusahaan Suratkabar.
D.
Peranan
Pers pada Masa Revolusi Indonesia
1.
Pers
Republik sebagai Pers Perjuangan
Pada masa revolusi Indonesia, pers
sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers
10
Indonesia menjadi salah satu alat
perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hari setelah teks
proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai
bidang kehidupan masyarakat, termasuk pers. Hal yang diperebutkan terutama
adalah peralatan percetakan. Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers
Republik Indonesia semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya koran Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News
Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia.
Peranan yang telah dilakukan
oleh pers kita di saat-saat proklamasi kemerdekaan kita dicetuskan, dengan
sendirinya adalah parallel dengan
perjuangan rakyat Indonesia dalam mendirikan dan memperkuat Republik Indonesia
yang baru lahir ini, sebagai tanggung jawab yang harus dipikul dengan adanya
proklamasi itu. Malahan di
antara wartawan kita, tidak sedikit jumlahnya yang langsung turut serta dalam
usaha-usaha proklamasi dan penggalangann persatuan rakyat guna menghadapi
usaha-usaha kaum penjajah yang ingin kembali ke Indonesia. Semboyan “Sekali
Merdeka Tetap Merdeka” menjadi pegangan teguh bagi para wartawan kita.
Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan meletusnya revolusi bangsa
Indonesia, sangat mencemaskan tentara pendudukan Jepang yang ketika itu masih
berada di Indonesia dan masih memiliki segala alat kemiliteran dengan serba
lengkap. Pimpinan tentara/ pemerintahan Jepang yang telah kehabisan semangat
dan hanya mengharapkan lekas tibanya tentara pendudukan Sekutu yang akan
menggantikan tugas mereka di Indonesia, mengambil tindakan-tindakan untuk
memadamkan revolusi bangsa Indonesia yang sedang menggelora itu.
Rakyat Indonesia, termasuk para
wartawan serta pegawai-pegawai perusahaan-perusahaan pers tentunya tidak
tinggal diam menghadapi tindakan-tindakan Jepang yang ingin mengambil muka
Sekutu itu, mengadakan perlawanan. Perebutan-perebutan
kekuasaan dilakukan di mana-mana oleh bangsa Indonesia dari tangan Jepang, juga
para wartawan kita dan pegawai-pegawai perusahaan-perusahaan surat kabar tidak
ketinggalan melakukan perebutan kekuasaan dari Jepang, termasuk alat-alat
percetakan. Terutama di kota-kota besar seperti Jakarta misalnya, perebutan
kekuasaan dalam segala bidang dari pihak Jepang sangat menegangkan suasana,
apalgi dengan adanya tantangan-tantangan dari pihak Jepang serta orang-orang
Belanda, Inggris dan lain sebagainya yang baru dibebaskan dari perkumpulan
tawanan dan menganggap sepi Republik Indonesia.
11
2.
Pers
Republik berusaha menandingi Pers Belanda
Tindakan-tindakan tentara Jepang yang
menganggap sepi Republik Indonesia yang baru lahir dan bermaksud hendak
melumpuhkan semangat perlawanan rakyat Indonesia, dilakukan juga dengan
menggunakan alat-alat propagandanya seperti surat kabar “Berita Gunseikanbu” dinyatakan, bahwa pemerintahan serta Negara
Republik Indonesia adalah tidak syah dan bahwa tentara Jepang masih tetap
menjalankan kekuasaan di Indonesia sampai datangnya tentara Sekutu, dijawab
dengan tindakan-tindakan merebut kedudukan militer Jepang yang telah bangkrut
itu. Karena para pejuang kita, termasuk juga para wartawan kita, mengetahui
kegunaan surat kabar sebagai alat pembangkit semangat dan jiwa kepahlawanan,
maka untuk menandingi Berita Gunseikanbu
tersebut di atas, diterbitkan surat kabar Berita
Indonesia di Jakarta, yang dapat dianggap sebagai pelopor dari Koran-koran
Republik. Berita Indonesia ini terbit dengan jumlah 5000 lembar dan setiap hari
rakyat berebut-rebut untuk membacanya. Demikianlah peranan pers kita di Jakarta
pada saat-saat sesudah proklamasi Kemerdekaan diumumkan. Setelah kedudukan
Jepang diganti oleh tentara Sekutu yang didalamnya ada kepentingan Belanda yang
ingin menjajah kembali, bertambah pentinglah fungsi surat-surat kabar Republik
yang berada di daerah-daerah pendudukan Sekutu/ Belanda, seperti antara lain di
Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, dan lain-lain tempat, karena
selain membawa suara Republik, juga merupakan lawan dari Koran-koran yang
diterbitkan oleh Regeeringsvoorlichtingsdienst
Belanda (Jawatan Penerangan Belanda).
3.
Pers
Republik sebagai sarana ekspresi pendirian, sikap dan pandangan.
Peranan lain pers pada masa revolusi
Indonesia adalah untuk mengekspresikan pendirian, sikap dan pandangan. Semangat
yang meluap dari rakyat untuk meraih dan mempertahankan kemerdekaan,
radikalisme sebagian besar pemuda untuk merebut senjata dari Jepang, dan
pertempuran melawan tentara Sekutu yang diboncengi NICA-Belanda di kota-kota
besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya, mejadi berita utama dan
disorot dengan tajam oleh suratkabar pada waktu itu. Identifikasi pers sebagai
pembawa suara dan aspirasi rakyat, nampak dari pemilihan nama penjaga kolom
catatan pojok yang populer pada masing-masing suratkabar. Misalnya, “Mas Kloboth” atau “Dr. Clenic” (Merdeka), “Mas
Semprot” atau “Semar” (Kedaulatan
Rakjat), “Bang Djeboel” (Berita
Indonesia), “Bang Bedjad”
(Al-Djihad), “Fikiran Rakjat” (Warta
Indonesia), “Podjok Kiri”
(Genderang), “Soedoet Tikam” (Api
Rakjat), dan sebagainya.
12
Aneka karikatur, walaupun tidak banyak,
untuk menyindir atau mendiskreditkan pihak lawan, terutama tentara Inggris dan
Belandadisajikan dengan cara telanjang dan terus terang. Sedangkan slogan,
motto, atau kata-kata mutiara untuk membangkitkan semangat rakyat, sebagai
renungan, dan arah perjuangan, ditempatkan pada bagian muka sudut kanan atau
kiri suratkabar. Semuanya itu menunjukkan bahwa pers memiliki peranan yang
tidak kecil sebagai “pengawal pendapat umum” selama revolusi Indonesia berlangsung.
Perkembangan pers kita selama revolusi fisik di daerah-daerah
adalah sejalan dengan perjuangan rakyat Indonesia yang sedang mempertahankan
daerah-daerah Republik terhadap usaha-usaha kaum penjajah yang ingin dapat
berkuasa kembali.
Peranan Lima Surat Kabar di Jawa pada
Masa Revolusi Indonesia, yaitu:
a.
Surat
Kabar Merdeka di Jakarta
Surat kabar Merdeka pertama kali terbit pada tanggal 1 Oktober 1945. Kelahiran
surat kabar ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari peran B.M. Diah dan
kawan-kawannya, yang pada akhir bulan September 1945 mengambil alih kantor
surat kabar Asia Raya dan menduduki
gedung percetakan De Unie di Jalan Molenvliet No. 8 (sekarang Jalan Hayam
Wuruk, Jakarta), tempat surat kabar milik Jepang itu diterbitkan. Terbit setiap
hari dengan dua lembar atau bahkan satu lembar, dengan demikian hanya empat
atau dua halaman, Merdeka menyatakan
dirinya sebagai pers yang berjiwa republik. Dalam edisi perdananya, sebagaimana
nampak dalam tulisan “Permoelaan Kata”,
Merdeka menyatakan akan mendukung
pemerintah Republik Indonesia di satu sisi, dan membangkitkan semangatrakyat
untuk mempertahankan kemerdekaan RI di sisi lain.
Sikapnya itu semakin dipertegas dengan
menetapkan motto yang populer bagi Merdeka,
yaitu sebagai: “Soeara Rakjat Repoblik
Indonesia”. Walaupun begitu bukan berarti surat kabar ini akan membeo saja
kepada kemauan dan kepentingan politik pemerintah. Sebagaimana akan
diperlihatkan nanti, Merdeka ternyata memiliki kebebasan yang besar dalam
mengekspresikan visi, sikap, dan pendirian para redaktur persnya. Hal itu
nampaknya sejalan dengan motto lain yang ditetapkan oleh surat kabar ini,
yaitu: “Merdeka berfikir, merdeka
berbitjara, dan merdeka menoelis itoe hanja ada pada ra’jat merdeka”.
b.
Surat Kabar Soeara Merdeka di Bandung
Surat kabar Soeara Merdeka terbit
pada bulan September 1945.Surat kabar ini terbit di atas reruntuhan surat kabar
Tjahaja milik Jepang. Dalam hal ini peran yang dimainkan oleh
13
Boerhanoeddin Ananda dan Mohamad Koerdi dalam mengambil
alih kantor surat kabar Tjahaja dan kemudian merubahnya menjadi Soeara
Merdeka menjadi penting, sebab kedua orang itulah yang kemudian menjadi
Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksinya. Terbit setiap hari dengan 4 halaman, Soeara
Merdeka pada mulanya beralamatkan di Jalan Groot Postweg-Oost 54-56
(sekarang Jalan Asia Afrika), Bandung. Namun ketika terjadi bencana banjir pada
bulan Nopember 1945, akibat meluapnya sungai Cikapundung, dan desakan tentara
Sekutu agar kota Bandung dikosongkan dari para pemuda yang berjiwa republiken, Soeara
Merdeka pun pindah ke daerah pedalaman dan beralamatkan di Jalan Galunggung
46, Tasikmalaya. Baik ketika masih di Bandung maupun di Tasikmalaya, visi dan
jati diri Soeara Merdeka sebagai pers yang ingin menyuarakan kemerdekaan
rakyat Indonesia di satu sisi, dan membela kepentingan politik negara RI di
sisi lain tetap tidak berubah.
Sebagai pers Republik yang terbit di
Bandung dan pada bulan Oktober 1945 tentara Sekutu (Inggris dan Belanda) sudah
menduduki kota itu, Soeara Merdeka sangat yakin dengan perlunya politik
diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di satu sisi, dan
perlunya masyarakat bertindak tenang, teratur, rasional, dan taat kepada
pemerintah RI di sisi lain. Bahkan ketika berbagai pihak, termasuk pers,
melibatkan diri dalam pro-kontra di sekitar Perundingan Linggarjati pada bulan
Nopember 1946-Maret 1947, Soeara Merdeka termasuk pers yang tetap
konsisten dengan visi dan artikulasinya bahwa persatuan dan kesatuan bangsa itu
penting, serta perlunya berpikir dingin, tenang, dan rasional dalam mensikapi
berbagai keadaan.Walaupun begitu bukan berarti surat kabar ini tidak punya daya
kritis sama sekali. Sikap kritis Soeara Merdeka yang disampaikan dengan
cara-cara yang halus, sopan, ksatria, dan rasional itu tetap ada seperti nampak
dalam catatan-catatan pojoknya. Bahkan kritik-kritik yang lebih canggih, dengan
nada sinis dan sarkastis, disampaikan lewat sajian cerpen (cerita pendek)
kontekstual yang sering ditulis oleh M.O. Koesman, dengan inisial M.O.Km.,
seorang penulis lepas bekas wartawan Sipatahoenan pada zaman Belanda.
c.
Surat
Kabar Warta Indonesia di Semarang
Kalau ada pers yang usianya sangat
singkat pada masa revolusi, barangkali itulah yang terjadi dengan surat kabar Warta Indonesia di Semarang. Mulai
terbit pada tanggal 29 September 1945, Warta
Indonesia merupakan perwujudan baru dari surat kabar Sinar Baroe yang semula milik pemerintah pendudukan Jepang. Sejak
awal berdirinya, surat
14
kabar yang beralamatkan di Jalan Purwodinatan Tengah
No. 22-24-26 Semarang itu sudah berjiwa republik dan bahkan sangat berpihak
pada kepentingan politik pemerintah Republik Indonesia. Hal itu bisa dilihat
dari tujuan diterbitkannya Warta
Indonesia, yaitu: “[...] oentoek
membantoe oesaha K.N.I. choesoesnja, serta segenap oesaha bangsa Indonesia
oemoemnja, jang bersifat membangoen (constuctief) jang bermanfaat bagi
langsoengnja Repoeblik Indonesia.” Dan ketika KNI (Komite Nasional
Indonesia) menjadi parlemen sementara dan didominasi oleh orang-orang
Sosialisnya Sutan Sjahrir, Warta
Indonesia termasuk pers yang mendukung politik diplomasi pemerintah
Syahrir.
Namun ketika pertempuran antara pihak
Sekutu dengan para pemuda Indonesia melanda Semarang dan kota-kota penting
lainnya di Jawa pada bulan Oktober 1945, sikap Warta Indonesia mulai keras. Slogan-slogan bombastis dengan maksud
untuk membangkitkan semangat perlawanan pemuda, menghiasi halaman-halaman
pertama surat kabar ini seperti: “Sak
Doemoek Batoek Sak Njatji Boemi, Wedjangan leloehoer jang pantas dipeloek oleh
70.000.000 ketoeroenannja”. Begitu jugaketika terjadi pertempuran 10
Nopember 1945 di Surabaya yang hebat itu, Warta Indonesia mengeluarkan “fatwa
jihad” yang khusus ditulis oleh K.H. Moenawar Cholil, ulama terkenal di
Semarang, yang menyatakan bahwa barang siapa yang mati mempertahankan
kemerdekaan tanah airnya maka ia “termasoek
mati sjahid djoega”.
d.
Surat
Kabar Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta
Jika Warta Indonesia di Semarang
termasuk pers yang singkat usianya, maka Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta
termasuk pers yang panjang usianya. Terbit di daerah pedalaman, Yogyakarta,
yang juga menjadi ibukota negara RI sejak tahun 1946, Kedaulatan Rakjat seperti
tidak terganggu oleh kehadiran tentara Sekutu yang mulai berdatangan dan
menduduki kota-kota penting lainnya di Jawa. Setidaknya sampai bulan Desember
1948, ketika Belanda melakukan Agresi Militer II dengan menduduki kota
Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat terus terbit. Namun dalam usia penerbitannya yang
panjang selama revolusi itu, surat kabar ini mengalami dinamika internal yang
menarik untuk dicermati, terutama yang menyangkut perubahan visi dan jati
dirinya dari pers yang sangat kritis dan vokal pada masa awal revolusi menjadi
pers yang akomodatif dalam perkembangan selanjutnya.
Pada masa awal revolusi, Kedaulatan
Rakjat termasuk pers yang paling bersemangat dalam membela eksistensi
kemerdekaan RI di satu sisi, serta menyerang pihak Belanda dan
15
mereka yang mau menegasikan kemerdekaan Indonesia di
sisi lain. Surat kabar ini juga termasuk yang menentang keras dan bersikap
sangat kritis kepada pemerintah Sjahrir ketika akan melakukan politik diplomasi
dengan pihak Belanda. Dalam pandangan Kedaulatan Rakjat, politik
diplomasi itu bukan saja tidak epektif tetapi juga tidak jantan dan tidak
berani bertempur di tengah-tengah gelombang revolusi yang hebat itu.Untuk
menunjukkan ketidaksetujuannya pada politik diplomasi, Bramono, Pemimpin Umum Kedaulatan
Rakjat, membuat sumpah bahwa dirinya akan berjuang ke medan pertempuran dan
tidak akan kembali lagi ke meja redaksi sebelum revolusi Indonesia ini selesai.
Pernyataan sumpah yang dilakukan Bramono pada masa revolusi itu memang bukanlah
hal yang aneh. Para pemuda lain yang berjiwa revolusioner – apakah untuk
main-main atau serius – sering juga berkata seperti: “Saya bersumpah tidak akan
menikah, atau saya berjanji tidak akan pulang ke rumah, atau saya bersumpah
tidak akan mencukur rambut saya, dan sebagaiya, sebelum perjuangan dalam
revolusi ini selesai”.
e.
Surat Kabar Soeara Rakjat di Surabaya
Kisah surat kabar Soeara Rakjat di
Surabaya barangkali bisa disejajarkan dengan Soeara Merdeka di Bandung.
Sama-sama terbit di daerah pendudukan tentara Sekutu, yang menguasai kota
Bandung dan Surabaya sejak bulan Oktober 1945, kedua surat kabar itu harus
“hijrah” ke daerah pedalaman yang relatif lebih aman. Kalau Soeara Merdeka,
sebagaimana telah dijelaskan di muka, harus pindah dari Bandung ke Tasikmalaya;
maka Soeara Rakjat harus pindah dari Surabaya ke Malang, Mojokerto, dan
Kediri. Akhir perjalanan hidup kedua surat kabar itu juga sama. Ketika Belanda
melakukan tindakan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947 dan menduduki
kota-kota penting di Jawa, termasuk kota tempat penerbitan Soeara Merdeka dan
Soeara Rakjat, maka kedua surat kabar itu dibredel oleh Belanda dengan
alasan yang sama pula: “menghasut dan menimbulkan permusuhan kepada Belanda”.
Dalam tulisan ini akan dibahas Soeara Rakjat yang pernah terbit di Surabaya
dan di Malang saja, dengan alasan data-datanya cukup lengkap bila dibandingkan
dengan Soeara Rakjat yang terbit di Mojokerto dan Kediri.
Sebagaimana Soeara Merdeka di
Bandung, Soeara Rakjat juga tergolong pers yang moderat. Betapapun
berada di jantung daerah pertempuran yang dahsyat pada akhir bulan Oktober dan
awal bulan Nopember 1945, Soeara Rakjat tetap berpandangan bahwa
masyarakat hendaknya tetap tenang, bertindak rasional, penuh perhitungan, dan
taat pada pimpinan nasional. Surat kabar ini, dengan demikian, jelas sangat
mendukung langkah-
16
langkah politik yang sedang ditempuh oleh
pemerintah, yaitu politik diplomasi untuk mendapatkan pengakuan dari dunia
internasional terhadap kemerdekaan Republik Indonesia. Catatan pojok yang
ditulis “Beta” (nama samaran Abdoel Azis, Pemimpin Redaksi Soeara Rakjat),
ketika menanggapi sebagian keinginan sebagian besar “arek-arek” Surabaya untuk
bertindak tegas dan berperang melawan tentara Sekutu, misalnya, juga
menunjukkan sikap surat kabar itu yang tenang dan rasional.
Memang untuk menunjukkan betapa
hebat perjuangan dan pengorbanan yang telah diberikan oleh “arek-arek” Surabaya
itu, Soeara Rakjat juga memberikan pujian, penghormatan melalui
slogan-slogan yang bombastis seperti: “Darah, darah, darah Indonesia telah
mengalir di Soerabaja ... oentoek kemerdekaan Indonesia, oentoek Repoeblik jang
berkedaulatan Rakjat !!!”. Namun
kembali lagi, betapapun suasananya tegang, cemas, kalut, dan kacau akibat pertempuran,
surat kabar ini tetap memberikan bumbu-bumbu humor yang menggelitik dan segar.
Melalui catatan-catatan pojoknya, “Beta” berhasil menggambarkan suasana
revolusi secara hidup, terutama ketika menyinggung semangat tempur “arek-arek”
Surabaya yang hebat itu. “... Wah hebat. Saking hebatnja, orangnja masih
digaris belakang, semangatnja soedah mentjolot lari ke garis depan, hingga jang
bertempoer kelihatan hanja semangat melawan miteralioer.” Begitu juga
ketika kelompok oposisi pada awal tahun 1946 mendesak pemerintah Sjahrir untuk
merubah haluan politiknya dari “beroending” menjadi “bertempoer”, Soeara
Rakjat termasuk pers yang mengajak para pembacanya untuk bersikap tenang,
rasional, dan penuh perhitungan.
E.
Proses
Terjadinya Penyalahgunaan Pers pada Masa Revolusi Indonesia
Sebenarnya dalam periode revolusi fisik
inilah, mulai timbul gejala-gejala, bahwa pers kita sedang beralih ke cara-cara
yang biasanya ditempuh oleh pers dalam alam demokrasi liberal. Hal ini adalah
wajar, karena ketika pemerintah mengeluarkan maklumat yang terkenal dengan
maklumat pemerintah bulan Nopember 1945, maka tumbuhlah laksana cendawan di
musim hujan partai-partai politik, yang dengan sendirinya berusaha mempengaruhi
pers atau berusaha memiliki surat-surat kabar yang dapat menjadi alat
partai-partai tersebut.
Timbulnya partai-partai politik
di masa revolusi fisik adalah laksana cendawan di musim hujan dan dengan
sendirinya karena banyaknya partai-partai politik ini timbul pula banyak
pertentangan-pertentangan, terutama dalam bidang politik mengenai kebijaksanaan
17
yang diambil oleh pemerintah. Pertentangan-pertentangan politik ini jelas
tergambar dalam surat-surat kabar yang dikendalikan oleh partai-partai yang
saling bertentangan. Di Surakarta misalnya, Lasjkar
yang non partai disapu habis oleh harian-harian yang dikendalikan oleh
partai-partai yang menentang pendapat atau politik yang dikemukakan oleh harian
Lasjkar, seperti antara lain
harian-harian Pacific, Murba dan Guntur dari golongan partai Gerakan Revolusi Rakyat yang juga
merupakan lawan harian-harian sayap kiri yaitu Bekerja dan Bangun. Di
Yogyakarta, pusat pemerintahan Republik Indonesia, selain harian-harian Nasional dan Kedaulatan Rakyat yang telah terbit sejak tahun 1946, menjelang
tahun 1948, terbit harian-harian Massa
dari Tan Malaka dan Suara Ibukota
dari golongan Sayap Kiri, di samping harian Suara
Ummat dari Masyumi, yang saling bertentangan pula.
Sengaja diambil kota Solo dan
Yogyakarta, karena justru di kedua kota dan sekitarnya inilah
pertentangan-pertentangan antara partai-partai dan persnya nampak jelas sekali.
Malahan pertentangan-pertentangan ini akhirnya sampai menimbulkan peristiwa
Madiun yang menyedihkan itu. Pertentangan politik yang menghebat di kedua
tempat tersebut di atas dan sekitarnya, dengan jelas dapat kita saksikan pada
isi sebagian besar pers Indonesia, yang jika pada mulanya mejadi penggerak dan
motor revolusi, tetapi kemudian menjadi pula pelopor dalam
pertentangan-pertentangan antara partai-partai. Malahan pertentangan antara
pers di masa ini bukan saja terbatas dalam tulisan-tulisan saja, tetapi sampai
kepada mengadu kekuatan fisik dengan daulat mendaulat percetakan. Sebagai
contoh dapat dikemukakan peristiwa perebutan percetakan antara harian Murba dan Bekerja yang masing-masing menggunakan pasukan-pasukan bersenjata
dalam bulan Maret 1948.
Gejala lain dalam pers kita di
masa revolusi fisik ini, ialah menonjolnya ke muka penyalahgunaan “kemerdekaan
pers”, sehingga istilah-istilah yang digunakan, yang sebenarnya kurang pantas
dan sopan, menjadi hal yang biasa digunakan sehari-hari. Dengan sendirinya
pertentangan-pertentangan politik antara partai-partai yang menajam, mendapat
salurannya melalui pers. Dalam usaha mencemarkan atau menjatuhkan lawan-lawan
politiknya, tidak jarang dimuat oleh harian-harian, dokumen-dokumen yang
membuktikan maksud suatu golongan untuk menjatuhkan pemerintah, dan dengan
sendiri dibalas pula oleh golongan yang diserang, dengan tangkisan-tangkisan
yang dimuat dalam pers yang mereka miliki atau pengaruhi, tentang
kepalsuan dokumen-dokumen yang dimuat oleh lawan mereka.
18
BAB III
KESIMPULAN
Kondisi
Indonesia pada masa revolusi mengalami goncangan setelah pada awal tahun 1945, mulai
berdatangan pihak sekutu yang telah memutuskan bahwa pasukan-pasukan amerika
akan memusatkan perhatian pada pulau-pulau di jepang. Dengan demikian tanggung
jawab atas Indonesia akan dipindahkan dari komando pasifik barat daya Amerika
kepada komando Asia tenggara Inggris dibawah pimpinan Lord louis mountbatten.
Tentu saja belanda ingin sekali menduduki kembali Indonesia dan menghukum
mereka yang bekerja sama dengan jepang. Perubahan yang fundamental di dalam
masyarakat Indonesia sangat terasa sekali pada saat setelah proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945. Revolusi Indonesia yang mencakup periode 1945-1950
adalah revolusi yang anti kolonial. Segala sesuatu yang berhubungan dengan
kolonialisme dipandang sebagai penghambat jalannya revolusi. Perubahan yang
fundamental tersebut disertai timbulnya pergolakan-pergolakan sosial, yang
dalam beberapa kasus di daerah-daerah di Indonesia merupakan suatu revolusi
sosial. Perubahan yang fundamental ini tampak pada perubahan struktur sosial
dan politik, dan struktur kolonial dan feodal ke struktur masyarakat yang
bercorak republik.
Periode
revolusi fisik terjadi antara tahun 1945 sampai 1949. Masa itu adalah masa
bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraihnya
pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki Indonesia
sehingga terjadilah perang mempertahankan kemerdekaan. Pada saat itu, pers
terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
1.
Pers
yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda yang
selanjutnya dinamakan Pers Nica (Belanda).
2.
Pers
yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia yang disebut Pers
Republik.
Aspirasi perjuangan wartawan dan pers
Indonesia memperoleh wadah dan wahana yang berlingkup nasional pada tanggal 9
Februari 1946 dengan terbentuknya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Di zaman revolusi fisik, lebih
terasa lagi betapa pentingnya peranan dan eksistensi pers sebagai alat
perjuangan, sehingga kemudian berkumpullah di Yogyakarta pada tanggal 8 Juni
1946 tokoh-tokoh surat kabar, tokoh-tokoh pers nasional, untuk mengikrarkan berdirinya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS).
19
Adapun peranan-peranan pers pada masa
Revolusi Indonesia, yaitu:
1.
Pers
Republik sebagai Pers Perjuangan,
2.
Pers
Republik berusaha menandingi Pers Belanda, dan
3.
Pers
Republik sebagai sarana ekspresi pendirian, sikap dan pandangan.
Timbulnya partai-partai politik di masa
revolusi fisik adalah laksana cendawan di musim hujan dan dengan sendirinya
karena banyaknya partai-partai politik ini timbul pula banyak
pertentangan-pertentangan, terutama dalam bidang politik mengenai kebijaksanaan
yang diambil oleh pemerintah. Pertentangan-pertentangan politik ini jelas
tergambar dalam surat-surat kabar yang dikendalikan oleh partai-partai yang
saling bertentangan.
20
No comments:
Post a Comment