Perkembangan
Politik
Setelah
21 Mei 1998
Kelompok : 4
Kelas : XII IPA 1
Nama Kelompok 4 :
1.
A.S.K
2.
I.P.
3.
M.R.
4.
R.
5.
W.M.S
KATA
PENGANTAR
Pertama-tama
kami panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena tanpa rahmat-NYA, kami
tidak dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan selesai tepat waktu.
Dalam tugas ini, kami menjelaskan tentang Perkembangan Politik Setelah 21
Mei 1998. Mungkin dalam pembuatan tugas ini terdapat kesalahan yang belum kami
ketahui. Maka dari itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun guru
pembimbing, demi tercapainya tugas yang sempurna.
Terima kasih.
Palopo, 27 September 2016
Daftar
Isi
Kata Pengantar····························································································· i
Daftar Isi····································································································· ii
Pembahasan ································································································ 1
Perkembangan Politik Setelah 21 Mei 1998························································ 1
1. Sebab-Sebab
terjadinya Reformasi ··························································· 1
a. Tujuan
Reformasi···················································································· 1
b. Faktor
Pendorong Terjadinya Reformasi························································ 1
c. Suksesi
(Pergantian Pimpinan)···································································· 1-2
d. Substansi
Agenda Reformasi Politik····························································· 2
e. Agenda
Reformasi Bidang Ekonomi···························································· 3
f. Agenda
Reformasi Bidang Hukum······························································ 3
g. Agenda
Reformasi Bidang Hukum······························································ 3
h. Agenda
Reformasi Bidang Pendidikan························································· 3
i. Hambatan
Pelaksanaan Reformasi Politik······················································ 3
2. Jatuh
Bangunnya Pemerintahan RI Setelah 21 Mei 1998······························· 3-5
3. Kondisi
Sosial dan Politik Bangsa Indonesia Setelah 21 Mei 1998 ··················· 5-6
Pembahasan
Perkembangan Politik Setelah 21 Mei 1998
1. Sebab-sebab
terjadi Reformasi
Sejak
13 Mei 1998 rakyat meminta agar Presiden Soeharto mengundurkan diri. Tanggal 14
Mei 1998 terjadi kerusakan di Jakarta dan di Surakarta. Tanggal 15 Mei 1998
Presiden Soeharto pulang dari mengikuti KTT G-15 di Kairo, Mesir. Tanggal 18
Mei para maha siswa menduduki gedung MPR/DPR dan pada saat itu ketua DPR/MPR
mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri. Hal ini jelas
berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah yang merosot sampai Rp 15.000 per
dollar. Dari realita di atas, akhirnya tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto
menyerahkan kekuasaan kepada B.J Habibie, yang membuka peluang suksesi
kepemimpinan nasional kepada B.J Habibie. Tujuan reformasi adalah agar
terciptanya kehidupan dalam bidang politik, ekkonomi, hokum, dan social yang
lebih baik dari masa sebelumnya.
a.Tujuan
Reformasi
1) Reformasi
politik bertujuan tercapainya demokratisasi.
2) Reformasi
ekonomi bertujuan meningkatkan tercapainya masyarakat.
3) Reformasi hokum
bertujuan tercapainya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
4) Reformasi
social bertujuan terwujudan integrasi bangsa Indonesia.
b.Faktor
Pendorong Terjadinya Reformasi
1) Faktor politik
meliputi hal-hal berikut.
a) Adanya KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dalam kehidupan pemerintahan.
b) Adanya
rasa tidak percaya kepada pemerintah Orba yang penuh dengan nepotisme dan
kronisme serta merajalelanya korupsi.
c) Kekuasaan Orba di
bawah Soeharto otoriter tertutup.
d) Adanya keinginan
demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
e) Mahasiswa
menginginkan perubahan.
2) Faktor ekonomi,
meliputi hal-hal berikut.
a) Adanya krisis
mata uang rupiah.
b) Naiknya harga
barang-barang kebutuhan masyarakat.
c) Sulitnya
mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok.
3)
Faktor social masyarakat : adanya kerusuhan pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998
yang melumpuhkan perekonomian rakyat.
4)
Faktor hokum : belum adanya keadilan dalam perlakuan hokum yang sama diantara
warga Negara.
c.
Suksesi (Pergantian Pimpinan)
1) Sukarno-Soeharto,
ada beberapa hal, yaitu sebagai berikut.
a) Problem pokok
adanya komunis/ PKI (nomor 4 sedunia)
b) Peristiwa
Lubang Buaya.
c) Adanya dualism
: ada pro dan anti pembubaran PKI.
d) Siding istimewa
MPRS 1967 didahului turunnya Supersemar.
2) Soeharto-Habibie,
ada beberapa hal, antara lain sebagai berikut.
a) Problem pokok
adanya krisis ekonomi meluas ke bidang politik.
b) Adanya
gerakan informasi yang menghendaki perubahan radikal karena KKN dalam tubuh
pemerintahan. Nepotisme berarti mengajak keluarga dalam kekuasaan. Kronisme
adalah mengajak teman-teman dalam kekuasaan.
c) Presiden
Soeharto ditolak oleh rakyat ditandai didudukinya gedung DPR/MPR oleh
mahasiswa, sehingga Soeharto menyerahkan jabatan kepada B. J. Habibie.
3) Pengalaman suksesi
di Indonesia.
a) Pergantian
pimpinan diserrtai kekerasan dan keributan dan setelah turun dari jabatan,
dihujat.
b)
Menginginkan pergantian pimpinan yang wajar, namun tidak ditemukan
sebab tidak adanya pembatasan masa jabatan.
c) Tidak
adanya Dhek and Balance yaitu tidak ada keseimbangan dalam Negara yang
disebabkan kecenderungan otoriter.
d) Etika
moralitas bahwa KKN bertentangan dengan moralitas.
d.
Substansi Agenda Reformasi Politik
1) Reformasi di
bidang ideology Negara dan konsistusi.
2) Pemberdayaan
DPR, MPR, DPRD maksudnya agar lembaga perwakilan rakyat benar-benar
melaksanakan fungsi perwakilannya sebagai aspek kedaulatan rakyat dengan
langkah sebagai berikut.
a) Anggota DPR harus
benar-benar dipilih dalam pemilu yang jurdil.
b) Perlu diadakan
perubahan tata tertib DPR yang menghambat kinerja DPR.
c) Memperdayakan MPR.
d) Perlu pemisahan
jabatan ketua MPR dengan DPR.
3) Reformasi lembaga
kepresidenan dan cabinet meliputi hal-hal berikut.
a)
Menghapus kewenangan khusus presiden yang berbentuk keputusan presiden dan
intruksi presiden.
b)
Membatasi penggunaan hak prerogative.
c)
Menyusun kode etik kepresidenan.
4)
Pembaharuan kehidupan politik yaitu memperdayakan partai politik untuk
menegakkan partai kedaulatan rakyat. Maka harus dikembangkan system multipartai
yang demokratis tanpa intervensi pemerintah.
5)
Penyelenggaraan pemilu.
6)
Birokrasi sipil mengarah pada terciptanya institusi birokrasi yang netral dan
profesional yang tidak memihak.
7)
Militer dan dwifungsi ABRI mengarah kepada mengurangi peran social politik
secara terhadap sampai dengan akhirnya hilang sama sekali, sehingga ABRI
berkonsentrasi pada fungsi Hankam.
8)
System pemerintahan daerah dengan sasaran memperdayakan otonomi daerah dengan
asas desentralisasi.
e.
Agenda Reformasi Bidang Ekonomi
1)
Penyehatan ekonomi dan kesejahteraan pada bidang perbankan, perdagangan, dan
koperasi serta pinjaman luar negeri untuk perbaikan ekonomi.
2)
Penghapusan monopoli dan oligopoly.
3)
Mencari solusi yang kostruktif dalam mengatasi utang luar negeri.
f.
Agenda Reformasi Bidang Hukum
1) Terciptanya
keadilan atas Negara HAM.
2) Dibentuk
peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan tuntunan reformasi. Misal :
Bidang ekonomi di keluarkan UU kepailitan, dihapuskan UU subversi, sesuai
semangat HAM dilepaskan napol-tapol (amnesty-abolisi).
g.
Agenda Reformasi bidang Hukum
Agenda reformasi bidang
hokum difokuskan pada integrasi nasional.
h.
Agenda Reformasi Bidang Pendidikan
Agenda
refiormasi di bidang pendidikan ditunjukan terutama maslah kurikulum yang harus
di tinjau paling sedikit lima tahunan.
i.
Hambatan pelaksanaan reformasi politik.
1)
Hambatan cultural : mengingat pergantian kepemimpinan nasional dari Soeharto ke
B.J Habibie tidak diiringi pergantian rezim yang berarti sebagai besar anggota
cabinet, gubernur, birokrasi sipil, komposisi anggota DPR/MPR masih peninggalan
rezim Orba.
2)
Hambalan Legitimasi : pemerintah B.J Habibie karena belum merupakan hasil
pemilu.
3)
Hambatan structural : berkaitan dengan krisis ekonomi yang berlarut-larut yang
berdampak bertambah banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan.
4)
Munculnya berbagai tuntutan otonomi daerah, yang jika tidak ditangani secara
baik akan menimbulkan disintegrasi bangsa.
5)
Adanya kesan kurang kuat dalam menegakkan hokum terhadap praktik penyimpangan
politik-ekonomi rezim lama seperti praktik KKN.
6)
Terkotak-kotaknya elit politik, maka dibutuhkan kesadaran secara bersama-sama
menciptakan politik yang mantap agar transformasi poolitik berjalan lancar.
2. Jatuh
Bangunnya Pemerintah RI Setelah 21 Mei 1998
Pemilihan
umum dilaksanakan pada 17 Juni 1999. Dari seratus lebih partai politik yang terdaftar,
hanya 48 partai politik yang dinyatakan telah memenuhi persyaratan untuk
mengikuti pemilihan umum. Lima besar hasil Pemilu adalah Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan), Partai Golongan Karya (Partai Golkar),
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai
Amanat Nasional (PAN) dan sekaligus merupakan lima penyusun keanggotaan MPR
yang menempatkan Amin Rais sebagai ketua MPR dan Akbar Tanjung sebagai Ketua
DPR RI. Sidang Umum MPR pada tanggal 19 Oktober 1999. Adapun faktor penting
yang menyebabkan ditolaknya laporan pertanggungjawaban Presiden B.J Habibie
adalah patut diduga bahwa presiden menguraikan indikator pertumbuhan ekonomi
yang tidak akurat dan manipulative.
Siding
Umum MPR juga berhasil mengambil keputusan memilih dan menetapkan K.H.
Abdurrahman Wahid (Gusdur) sebagai Presiden RI masa bakti 1999-2004. Presiden
K.H. Abdurrahman Wahid dalam menjalankan pemerintahan didampingi Wapres
Megawati Sukarnoputri. Idang Umumm MPR setelah berhasil menetapkan Presiden dan
Wakil Presiden RI juga berhasil membuat Sembilan ketetapan dan untuk kali
pertama melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Preiden Abdurrahman Wahid
menjalankan pemerintahan dengan membentuk cabinet yang disebut dengan Kabinet
Persaatuan Nasional. Rakyat di beri kebebasan seluas-luasnya untuk berpendapat
hingga akhirnya terjadi kebingungan dan kebimbangan mengenai banar dan tidaknya
suatu hal. Pemerintah sendiri juga tidak pernah tegas dalam memberikan
pernyataanterhadap suatu masalah. Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
secara umum belum mampu melepaskan bangsa Indonesia keluar dari krisis yang
dialaminya. Fakta yang ada justru menunjukkan makin banyak terjadi
pengangguran, naiknya harga-harga, dan bertambahnya jumlah penduduk yang berada
di gariskemiskinan. Disintegrasi bangsa juga makin meluas meskipun telah
diusahakan penyelesaian, misalnya pergantian nama Irian Jaya manjadi Papua.
Pertentangan DPR dengan lembaga kepresidenan juga makin transparan. Banyak
sekali teguran DPR yang tidak pernah diindahkan oleh presiden Abdurrahman
Wahid. Puncak pertentangan itu muncul dalam masalah yang dikenal sebagai Bruneigate dan Buloggate. Kasus
Buloggate menyebabkan lembaga DPR mengeluarkan teguran keras kepada presiden
dalam bentuk memorandum I sampai II. Intinya agar presiden kemballi bekerja
sesuai dengan GBHN yang telah diamanatkan. Presiden Abdurrahman Wahid tidak
mengindahkan peringatan DPR tersebut. DPR akhirnya bertindak meminta MPR
menggelar siding istimewa untuk meminta pertanggung jawaban kinerja presiden.
Presiden berusaha menyelesaikan masalah laporan pertanggungjawaban dengan
kompromi politik. Namun, Upaya itu tidak mendapat sambutan positif lima dari
enam partai politik Pemenang pemilu 1999, yaitu PDI Perjuangan, Partai Golkar,
PPP, PAN dan PBB. Partai Kebangkitan Bangsa sebagai basis politik K.H.
Abdurrahman Wahid jelas mendukung langkah-langkahnya. Sikap MPR untuk menggelar
sidang istimewaa makin tegas setelah presiden secara sepihak melantik pemangku
sementara jabatan Kepala Kepolisian RI Komisaris Jendral (Pol) Chaeruddin
Ismail menggantikan Kapolri Jendral Suroyo Bimantoro yang telah dinonaktifkan
karena berseberangan pendapat dengan presiden. Padahal sesuai dengan aturan
yang berlaku pengangkatan jabatan singkat Kapolri meskipun itu hak prerogative
presiden harus tetap berkoordinasi dengan DPR. Presiden sendiri dalam menggapi
rencana dalam sidang istimewa berusaha mencari kompromi politik yang sama-sama
menguntungkan. Namun, jika sampai tanggal 31 Juli 1998 kompromi ini tidak di
dapatkan, presiden akan menyatakan Negara dalam keadaan bahaya. MPR berencana
menggelar siding istimewa mulai tanggal 21 Juli 2001. Presiden direncanakan
akan memberikan pertanggungjawaban pada tangga 23 Juli 2003. Namun, presiden
menolak rencana tersebut dan menyatakan Sidang Istimewa MPR tidak sah dan
ilegaal.
Di
lain pihak, beberapa pimpinan partai politik lima besar pemenang pemilu minus
PKB mulai mendekati dan mendorong Wapres Megawati Sukarnoputri untuk maju
menjadi presiden. Melihat perkembangan politik yang tidak menguntungkan
tersebut, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid menengarai adanya persekongkolan
untuk menjatuhkan dirinya sebagai presiden. Oleh karena itu, presiden segera
bertindak meskipun tidak mendapat dukungan penuh dari kabinetnya untuk mengeluarkan
Dekret Presiden pada tanggal 23 Juli 2001 pukul 1. 10 WIB dini hari. Dekret
Presiden 23 Juli 2001 pada intinya berisi hal sebagai berikut:
1)
Membekukan MPR dan DPR RI
2)
Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun
badan-badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu
satu tahun;
3)
Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsure-unsur orde baru
dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.
Bangsa
Indonesia menaggapi Dekret Presiden itu dengan penuh kebimbangan. MPR pada
tanggal 23 Juli 2001 pukul 8.00 WIB, akhirnya bersikap bahwa Dekret tidak sah
dan presiden jelas-jelas telah melanggar haluan Negara yang di embangnya.
Pernyataan MPR didukung oleh fatwa Mahkamah Agung yang langsung dibacakan pada
Sidang Istimewa MPR itu. Fraksi-fraksi MPR yang ada akhirnya setuju
memberhentikan K.J. Abdurrahman Wahid sebagai Pressiden RI dan menetapkan
Megawati Sukarnoputri sebagai Presiden RI. Dan keputusan menetapkan Megawati
Sukarnoputri sebagai presiden dituangkan dalam Tap. MPR No. III/MPR/2001. Masa
jabatan terhitung sejak dilantik sampai tahun 2004 atau melanjutkan sisa masa
pemerintahan Presiden K.J. Abdurrahman Wahid. Hamzah Haz terpilih sebagai Wakil
Presiden RI. Presiden Megawati Sukarnoputri menjalankan pemerintahan dengan
membentuk Kabinet Gotong Royong. Komposisi cabinet ini di tetapkan pada tanggal
9 Agustus 2001.
3. Kondisi
Sosial dan Politik Bangsaa Indonesia Setelah 21 Mei 1998
Perubahan
politik di Indonesia sejak bulan Mei 1998 merupakan babak baru bagi
penyelesaian masalah Timor Timur. Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh
Presiden B.J Habibie telah menawarkan pilihan, yaitu pemberian otonomi khusus
kepada Timor Timur di dalam Negara Kesatuan RI atau memisahkan diri dari
Indonesia. Melalui perundingan yang disponsori oleh PBB, di New York, Amerika
Serikat pada tanggal 5 Mei 1999 ditandatangani kesepakatan tripartite antara
Indonesia, Portugal, dan PBB untuk melakukan jejak pendapat mengenai status masa
depan Timor Timur.
PBB
kemudian membentuk misi PBB di Timor Timur atau United Nations
Assistance Mission in East Timor (UNAMET).Misi ini bertugas melakukan jejak
pendapat. Jejak pendapat diselenggarakan tanggal 30 Agustus 1999. Jejak
pendapat di ikuti oleh 451.792 penduduk Timor Timur berdaasaarkan criteria
UNAMET. Jejak pendapat diumumkan oleh PBB di New York dan Dili pada tanggal 4
Septembar 1999. Hasil jejak pendapat menunjukkan bahwa 78,5% penduduk Timor
Timur menolak menerima otonomi khusus dalam NKRI dan 21,5% menerima
usul otonomi khusus ditawarkan pemerintah RI. Ini berarti Timor
Timur harus lepas dari Indonesia. Ketetapan MPR No. V/MPR/1999 tentang
Penentuan Pendapat Rakyat di Timor Timur menyatakan mencabut berlakunya Tap.
MPR No. V/MPR/1978. Selain itu, mengakui hasil jejak pendapat tanggal 30
Agustus 1999 yang menolak otonomi khusus.
Pengalaman
lepasnya Timor Timur dari Indonesia menjadikan pemerintah lebih waspada
terhadap masalah Aceh dan Papua. Sikap politik pemerintah di era reformasi terhadap
penyelesaian masalah Aceh dan Papua dilakukan dengan member otonomi khusus pada
kedua daerah tersebut. Untuk lebih memberi perhatian dan semangat padda
penduduk Irian Jaya, di era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid nama Iriran
Jaya diganti dengan nama Papua. Pemerintah pusat juga memberi otonomi khusus
pada wilayah Papua. Dengan demikian, pemerintah telah berusaha merespon
sebagian keinginan waarga Papua untuk dapat lebih memaksimalkan segala
potensinya untuk kesejahteraan rakyat Papua sendiri. Meskipun begitu, masih
saaja terjadi usaha untuk memisahkan diri dari NKRI, terutama yang dipimpin
oleh Theys H. Eluoy, Ketua Presidium Dewan Papua. Gerakan Papua Merdeka sempat
mereda setelah Theys H. Eluoy tewas tertembak pada tanggal 11 November 2001 yang
diduga dilakukan oleh beberapa oknum TNI dari Satgas Tribuana X. penyelesaaian
konflik seperti itu sebenarnya tidak dikehendaki pemerintah, namun ada saaja
oknum yang memancing di air keruh sehingga menimbulkan ketegangan.
Keinginan
sebagian rakyat untuk merdeka telah menyebabkan pemerintah bertindak keras.
Apalagi setelah pengalaman Timor Timur dan pemberian otonomi khusus pada rakyat
tidak memberikan hasil maksimal. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati
Sukarnoputri, Aceh telah mendapat otonomi khusus dengan nama Nanggroe
Aceh Darussalam. Namun, keinginan baik pemerintah kurang mendapat
sambutan sebagian rakyat Aceh. Kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tetap pada
tuntutannya, yaitu ingin Aceh merdeka. Akibatnya, di Aceh sering terjadi
gangguan keamanan, seperti penghadangan dan perampokan truk-truk pembawa
kebutuahan rakyat, serta terjadinya penculikan dan pembunuhan pada tokoh-tokoh
yang memihak Indonesia. Agar keadaan tidak makin parah, pemerintah pusat dengan
persetujuan DPR, akhirnya melaksanakan operasi militer di Aceh. Hokum darurat
militer diberlakukan di Aceh. Para pendukung Gerakan Aceh Merdeka ditangkap.
Namun demikian, operasi militer juga tetap saja menyengsarakan waarga sipil
sehingga diharapkan dapat segera selesai.
Gejolak
politik di era reformasi juga ditandai dengan banyaknya terror bom di
Indonesia. Terror bom terbesar terjadi disebuah tempat hiburan di Legian, Kuta,
Bali yang menewaskan ratusan Orang asing. Pada tanggal 12 Oktober 2002 bom
berikutnya sempat memporak-porandakan Hotel J.W. Marriot di Jakarta beberapa
waktu lalu. Keadaan yang tidak aman dan banyaknya terror bom memperburuk citra
Indonesia di mata internasional sehingga banyak investor yang batal menanamkan
modal di Indonesia. Kondisi politik Indonesia yang kurang menguntungkan
tersebut diperparah dengan tidak ditegakkannya hokum dan hak asasi manusia
(HAM) sebagai mana mestinya. Berbagai kasus pelanggaran hokum dan HAM terutama
yang menyangkut tokoh-tokoh politik, konglomerat, dan oknum TNI tidak pernah
terselesaikan secara adil dan jujur. Oleh karena itu, rakyat makin tidak
percaya pada penguasa meskipun dua kali telah terjadi pergantian pimpinan
Negara sejak Soeharto tidak menjadi Presiden RI.
No comments:
Post a Comment